Kamis, 25 Februari 2010

Kebudayaan Indonesia Zaman Pra Sejarah

Pembagian zaman dalam prasejarah diberi sebutan menurut benda-benda atau peralatan yang menjadi ciri utama dari masing-masing periode waktu tersebut. Adapun pembagian kebudayaan zaman prasejarah tersebut terdiri dari:

I. Zaman Batu Tua (Palaelitikum)
Berdasarkan tempat penemuannya, maka kebudayaan tertua itu lebih dikenal dengan sebutan Kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.

1.Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935 di daerah Pacitan ditemukan sejumlah alat-alat dari batu, yang kemudian dinamakan kapak genggam, karena bentuknya seperti kapak yang tidak bertangkai. Dalam ilmu prasejarah alat-alat atau kapak Pacitan ini disebut chopper (alat penetak). Soekmono mengemukakan bahwa asal kebudayaan Pacitan adalah dari lapisan Trinil, yaitu berasal dari lapisan pleistosen tengah, yang merupakan lapisan ditemukannya fosil Pithecantropus Erectus. Sehingga kebudayaan Palaelitikum itu pendukungnya adalah Pithecanthropus Erectus, yaitu manusia pertama dan manusia tertua yang menjadi penghuni Indonesia.

2.Kebudayaan Ngandong
Di daerah sekitar Ngandong dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun, ditemukan alat-alat dari tulang bersama kapak genggam. Alat-alat yang ditemukan dekat Sangiran juga termasuk jenis kebudayaan Ngandong. Alat-alat tersebut berupa alat-alat kecil yang disebut flakes. Selain di Sangiran flakes juga ditemukan di Sulawesi Selatan. Berdasarka penelitian, alat-alat tersebut bersalo dari lapisan pleistosen atas, yang menunjukkan bahwa alat-alat tersebut merupakan hasil kebudayaan Homo Soloensis dan Homo Wajakensis (Soekmono, 1958: 30). Dengan demikian kehidupan manusia Palaelitikum masih dalam tingkatan food gathering, yang diperkirakan telah mengenal sistem penguburan untuk anggota kelompoknya yang meninggal.

II. Zaman Batu Madya (Mesolitikum)
Peninggalan atau bekas kebudayaan Indonesi zaman Mesolitikum, banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Kehidupannya masih dari berburu dan menangkap ikan. Tetapi sebagian besar mereka sudah menetap, sehingga diperkirakan sudah mengenal bercocok tanam, walaupun masih sangat sederhana.
Bekas-bekas tempat tinggal manusia zaman Mesolitikum ditemukan di goa-goa dan di pinggir pantai yang biasa disebut Kyokkenmoddinger (di tepi pantai) dan Abris Sous Roche (di goa-goa). Secara garis besar kebudayaan zaman Mesolitikum terdiri dari: alat-alat peble yang ditemukan di Kyokkenmoddinger, alat-alat tulang, dan alat-alat flakes, yang ditemukan di Abris Sous Roche.



Kebudayaanzaman Mesolitikum di Indonesia diperkirakan berasal dari daerah Tonkin di Hindia Belakang, yaitu di pegunungan Bacson dan Hoabinh yang merupakan pusat kebudayaan prasejarah Asia Tenggara. Adapun pendukung dari kebudayaan Mesolitikum adalah Papua Melanesia.

III. Zaman Batu Muda (Neolitikum)
Zaman Neolitikum merupakan zaman yang menunjukkan bahwa manusia pada umumnya sudah mulai maju dan telah mengalami revolusi kebudayaan. Dengan kehidupannya yang telah menetap, memungkinkan masyarakatnya telah mengembangkan aspek-aspek kehidupan lainnya. Sehingga dalam zaman Neolitikum ini terdapat dasar-dasar kehidupan. Berdasarkan alat-alat yang ditemukan dari peninggalannya dan menjadi corak yang khusus, dapat dibagi kedalam dua golongan, yaitu:

1.Kapak Persegi
Sebutan kapak persegi didasarkan kepada penampang dari alat-alat yang ditemukannya berbentuk persegi panjang atau trapesium (von Heine Geldern). Semua bentuk alatnya sama, yaitu agak melengkung dan diberi tangkai pada tempat yang melengkung tersebut. Jenis alat yang termasuk kapak persegi adalah kapak bahu yang pada bagian tangkainya diberi leher, sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi.

2.Kapak Lonjong
Disebut kapak lonjong karena bentuk penampangnya berbentuk lonjong, dan bentuk kapaknya sendiri bulat telur. Ujungnya yang agak lancip digunakan untuk tangkai dan ujung lainnya yang bulat diasah, sehingga tajam. Kebudayaan kapak lonjong disebut Neolitikum Papua, karena banyak ditemukan di Irian.

Benda-benda lainnya pada zaman Neolitikum adalah kapak pacul, beliung, tembikar atau periuk belanga, alat pemukul kulit kayu, dan berbagai benda perhiasan. Adapun yang menjadi pendukungnya adalah bangsa Austronesia untuk kapak persegi, bangsa Austo-Asia untuk kapak bahu, dan bangsa Papua Melanesia untuk kapak lonjong.

IV. Zaman Logam
Zaman logam dalam prasejarah terdiri dari zaman tembaga, perunggu, dan besi. Di Asia Tenggara termasuk Indonesia tidak dikenal adanya zaman tembaga, sehingga setelah zaman Neolitikum, langsung ke zaman perunggu. Adapun kebudayaan Indonesia pada zaman Logam terdiri dari:

1.Kebudayaan Zaman Perunggu
Hasil-hasil kebudayaan perunggu di Indonesia terdiri dari: kapak Corong yang disebut juga kapak sepatu, karena bagian atasnya berbentuk corong dengan sembirnya belah, dan kedalam corong itulah dimasukkan  tangkai kayunya. Serta nekara, yaitu barang semacam berumbung yang bagian tengah badannya berpinggang dan di bagian sisi atasnya tertutup, yang terbuat dari perunggu. Selain itu, benda lainnya adalah benda perhiasan seperti kalung, anting, gelang, cincin, dan binggel, juga manik-manik yang terbuat dari kaca serta seni menuang patung.

2.Kebudayaan Dongson
Dongson adalah sebuah tempat di daerah Tonkin Tiongkok yang dianggap sebagai pusat kebudayaan perunggu Asia Tenggara, oleh sebab itu disebut juga kebudayaan Dongson. Sebagaimana zaman tembaga, di Indonesia juga tidak terdapat zaman besi, sehingga zaman logam di Indonesia adalah zaman perunggu.

V. Zaman Batu Besar (Megalitikum)
Zaman Megalitikum berkembang pada zaman logam, namun akarnya terdapat pada zaman Neolitikum. Disebut zaman Megalitikum karena kebudayaannya menghasilkan bangunan-bangunan batu atau barang-barang batu yang besar. Peninggalan-peninggalannya yang terpenting adalah:
1.Menhir, yaitu tiang atau tugu yang didirikan sebagai tanda peringatan terhadap arwah      nenek moyang.
2.Dolmen, berbentuk meja batu yang dipergunakan sebagai tempat meletakkan sesajen yang dipersembahkan untuk nenek moyang.
3.Sarcopagus, berupa kubur batu yang bentuknya seperti keranda atau lesung dan mempunyai tutup.
4.Kubur batu, merupakan peti mayat yang terbuat dari batu.
5.Punden berundak-undak, berupa bangunan pemujaan dari batu yang tersusun bertingkat-tingkat, sehingga menyerupai tangga.
6.Arca-arca, yaitu patung-patung dari batu yang merupakan arca nenek moyang.
Hasil-hasil kebudayaan Megalitikum di Indonesia mempunyai latar belakang kepercayaan dan alam pikiran yang berlandaskan pemujaan terhadap arwah nenek moyang.

Jawa Barat awal tahun 1945

Pada awal tahun 1945, Daidan I yang berkedudukan di Jakarta diberi kesempatan untuk memberi latihan militer kepada para politisi dari Chuo Sangi-in (Dewan Perwakilan Rakyat buatan Jepang), diantaranya Bung Karno. Para anggota Chuo Sangi-In ini diasramakan di kesatrian Daidan I, di Jagamonyat, sehingga kesempatan ini digunakan untuk saling berkomunikasi diantara mereka. Para politisi itu berhasil menanamkan semangat nasionalisme di kalangan anggota dan perwira PETA, sebaliknya anggota PETA juga bisa memberikan latihan militer kepada para mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku). Sejak itu ikatan di antara mereka semakin kuat.
Para pemuda bekas anggota PETA di Jakarta sepakat untuk membentuk BKR pusat, dengan tujuan agar dapat mengkoordinasikan dan mengendalikan BKR yang ada di daerah-daerah secara terpusat. Kemudian, diangkatlah Kasman Singodimedjo, bekas daidanco di Jakarta, sebagai Ketua BKR pusat. Namun, karena dia diangkat oleh pemerintah sebagai ketua KNIP, maka kedudukannya digantikan oleh Kaprawi sebagai Ketua Umum, Sutalaksana sebagai Ketua I dan latief Hendraningrat sebagai Ketua II, serta dibantu oleh Arifin Abdurachman, Mahmud, dan Zulkifli Lubis.
Di daerah-daerah lain di Jawa Barat pada umumnya pembentukan BKR dilakukan pada minggu terakhir bulan Agustus 1945. di Cirebon, atas usaha BPKKP dibentuk BKR dengan ketua Abdul Gani dan Wakil Ketua Asikin. Selain itu, mereka berdua juga dibantu oleh Sumarno, Rukman, Effendi, dan Syafei, yang merupakan mantan-mantan perwira PETA.
Pembentukan BKR di keresidenan Bogor bertempat di Sekolah Kehutanan Menengah Tinggi. Pertemuan tersebut berhasil memilih R. Gunawan sebagai ketua, kemudian untuk kota Bogor dan Kabupaten Bogor diketuai oleh Kaprawi, kota Sukabumi dan Kabupaten Sukabumi oleh H. Basyuni, dan untuk Kabupaten Cianjur diketuai oleh Abdullah bin Noch. Para mantan perwira PETA lainnya yang terlibat dalam BKR di Bogor diantaranya adalah Gatot Mangkupraja, Edi Sukardi, D. Kosasih, Husein Sastranegara, A. Kosasih, dan Dule Abdullah (Ekadjati, 1979/ 1980: 110).
Di Keresienan Banten BKR didirikan di Serang. Unsur-unsur pimpinan BKR Banten adalah para mantan perwira PETA diantaranya adalah K.H. Achmad Chatib, K.H. Syam’un, E. Tornaya, Jayarukmantara, K.H. Junaedi, dan H. Abdullah (Lubis (ed.), 2003: 210). Berdasarkan hasil rapat, maka yang ditunjuk sebagai ketua BKR di Banten adalah K.H. Syam’un. Karena wilayahnya berbatasan dengan lautan, maka di Banten didirikan pula BKR Laut yang diketuai oleh Gatot. BKR Laut yang disyahkan oleh K.H. Achmad Chatib sebagai Residen Banten dan K.H. Syam’un sebagai Kepala BKR Serang tersebut terdiri atas dua bagian yaitu Armada Perikanan dan Pasukan Marinir (Michrob dan Chudari, 1993: 240).
3.1 Faktor-Faktor Penyebab Dibentuknya
Masalah pertahanan negara apalagi bagi negara yang baru merdeka sangat penting untuk ditangani. Sebab diperlukan institusi yang secara khusus memiliki tugas untuk mempretahankan negara serta kemerdekaaan yang baru didirikan. Apalagi kemerdekaan yang baru diraih oleh bangsa Indonesia dapat dikatakan masih dalam keadaan “rawan” karena sewaktu-waktu dapat digagalkan oleh pihak-pihak asing yang tidak menghendakinya. Hal itu disebabkan oleh masih kuatnya pasukan Jepang di Indonesia yang berusaha untuk mempertahankan status quo serta akan datangnya pasukan sekutu yang diboncengi pasukan Belanda untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia.
Kondisi pertahanan dan keamanan negara yang begitu kritis dan belum adanya organisasi ketentaraan nasional merupakan faktor utama yang menjadi penyebab umum dari dibentuknya berbagai badan perjuangan di Indonesia, termasuk yang ada di Priangan. Namun, selain kondisi stabilitas negara yang belum terjamin terdapat juga faktor-faktor lainnya yang menjadi penyebab khusus serta melatarbelakangi terbentuknya badan-badan perjuangan yang ada di Priangan. Sebab-sebab khusus tersebut penulis kelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sebab-sebab yang munculnya dari dalam yang disebut faktor intern dan sebab-sebab yang munculnya dari luar yang disebut faktor ekstern.