Sabtu, 27 Maret 2010

PERKEMBANGAN LUKISAN JELEKONG

Awal Keberadaan Lukisan
Salah satu hal yang menarik dari desa Jelekong adalah sebagian besar penduduknya menjadikan kegiatan melukis sebagai mata pencaharian. Biasanya kegiatan melukis hanya dilakukan oleh seseorang yang memiliki bakat, dan jarang dilakukan oleh komunitas masyarakat dalam satu wilayah. Namun tidak demikian hal nya dengan desa Jelekong. Masyarakat di daerah ini mampu menghasilkan banyak lukisan setiap harinya yang kemudian akan dijual, baik di daerah tersebut maupun ke daerah-daerah lain bahkan ke luar negeri, sehingga menjadikan kegiatan melukis ini sebagai mata pencaharian pokok. Padahal, secara geografis dan budaya, daerah ini tidak jauh berbeda dengan daerah disekitarnya. Untuk menjelaskan kondisi ini, harus dipahami terlebih dahulu sejarah awalnya, hingga dapat diketahui bagaimana penyebab dan proses berkembangnya lukisan di Jelekong.
Lukisan Jelekong mulai dikenal oleh para peminat lukisan sejak tahun 1970-an. Bapak Odin Rohidin sangat berjasa dalam mengembangkan lukisan di Jelekong sehingga dikenal oleh peminat lukisan bahkan dari luar negeri. Beliaulah yang pertama kali mengembangkan lukisan di daerah ini dengan mengajarkannya secara turun temurun menyerupai suatu jaringan, sehingga dikenal istilah generasi-generasi. Diawali dari kerabat Pak Odin sendiri, yaitu Pak Zaenudin (keponakannya), Pak Kosim, Pak Uga, dan Pak Nana −selanjutnya mereka dikenal dengan generasi pertama. Lambat laun, jumlah pelukis di daerah ini terus berkembang, sampai sekarang sudah ratusan orang yang mengandalkan hidupnya dari melukis.
Sebenarnya Bapak Odin juga belajar melukis kepada orang lain. Orang itu bernama Wawan (almarhum), masih orang Jelekong dan merupakan sahabat Bapak Odin. Waktu itu, Pak Odin ikut ke Jakarta karena tidak mempunyai pekerjaan, sehingga beliau mengikuti Pak Wawan dan kemudian belajar melukis kepadanya. Setahun kemudian beliau kembali ke Jelekong dan memulai usahanya dalam menghasilkan lukisan sambil terus belajar.

Perkembangan Kuantitas Lukisan
Dikenalnya seni lukis di Desa Jelekong yang dipelopori oleh Bapak Odin Rohidin, telah membawa perubahan yang signifikan dari jumlah pelukis di Desa Jelekong dan hasil lukisan yang dibuatnya. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya mengenai awal keberadaan lukisan Jelekong, dimana akhirnya kegiatan melukis dikenal luas dan dijadikan mata pencaharian masyarakat Jelekong.
    Pada mulanya, lelaki berusia 65 tahun ini tidak mengajarkan bakatnya tersebut kepada orang lain di wilayah Jelekong, melainkan sekitar tahun 1964 sampai tahun 1973 ia hanya memasarkan lukisannya ke Jakarta. Kemudian pada tahun 1973 barulah ia mulai mengajarkan keahlian melukisnya kepada masyarakat Jelekong.     Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, setelah keempat orang tersebut dapat melukis, maka mereka mengajarkan ilmu melukisnya tersebut kepada kerabat maupun warga Jelekong lainnya. Proses pembelajaran melukis secara turun temurun ini masih berlaku hingga sekarang. Dikenalnya lukisan Jelekong disebabkan semakin bertambah luas daerah pemasarannya, bahkan keluar negeri seperti Malaysia, Taiwan, Singapura, negara-negara Arab, dan Amerika. Hal ini tidak luput dari peran serta media massa dan media cetak dalam memberitakan dan memperkenalkan lukisan Jelekong secara luas.
    Semakin luasnya berita tentang Jelekong sebagai penghasil lukisan, menjadikan wilayah Jelekong mulai didatangi para pendatang dari luar Jelekong. Tapi sungguh disayangkan tidak adanya data yang secara detail mengenai jumlah pelukis di wilayah Jelekong. Tapi berdasarkan wawancara dengan Bapak Dedeh Sutyana, didapatkan keterangan bahwa pelukis Jelekong diperkirakan berjumlah 98% dari seluruh warga diwilayah tersebut dan kebanyakan diantara mereka adalah pemuda. Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa saat ini pelukis Jelekong diperkirakan mencapai 200 orang.
    Wilayah yang menjadi pusat pelukis adalah di sekitar RT. 07, yang juga merupakan wilayah tempat kediaman Bapak Odin Rohidin. Selain itu di RT. 04, RT. 05, RT. 06, dan RT. 08 juga banyak komunitas pelukisnya. Lukisan yang dihasilkan oleh para pelukis di wilayah RT. 01 dan RT. 02 berbeda dari wilayah lain yang disebutkan diatas, yang mana lukisan dikedua wilayah tersebut bercirikan lukisan wayang. Sedangkan di wilayah lainnya lukisan Jelekong pada umumnya bersifat naturalis seperti pemandangan, hewan, atau manusia. Hal ini dikarenakan mereka lebih terfokus pada kesenian wayang yang lebih dulu terkenal daripada Lukisan Jelekong, yaitu dengan nama Kesenian Wayang Golek Giri Harja. Adapun kesamaan dari kedua kesenian ini (wayang dan Lukisan) yaitu adanya seorang pembaharu atau pionir yang mengenalkannya. Pelopor lukisan Jelekong adalah Odin Rohidin sedangkan pada kesenian wayang adalah Abah Sunarya yaitu Ayah dari dalang terkenal Asep Sunandar Sunarya. Selain itu, kesamaannya adalah bahwa kedua kesenian ini diwariskan turun temurun.
    Jika kita ingin melihat kuantitas lukisan yang dihasilkan pelukis, maka kita tidak dapat menghitungnya secara pasti. Karena setiap individu menghasilkan jumlah lukisan yang berbeda-beda. Bagi para pemula, biasanya menghasilkan satu atau dua buah lukisan dalam satu hari. Tetapi bagi mereka yang sudah ahli dan terbiasa dapat menghasilkan lima sampai delapan buah lukisan perhari untuk kemudian dijual kepada bandar-bandar lukisan yang berada di wilayah Jelekong. Jumlah lukisan yang dihasilkan juga bergantung pada rumit tidaknya jenis lukisan yang dibuat, walaupun ia telah lama melukis, tapi jika lukisannya rumit, maka ia akan menghabiskan waktu lebih lama dari pada biasanya.  Berbeda halnya dengan lukisan pesanan, baik yang datangnya dari dalam ataupun luar negeri, pelukis dapat menghasilkan lukisan sebanyak 10 hingga 15 lukisan dengan durasi kerja mulai pukul 04.00 pagi (sesudah sholat Subuh) sampai pukul 9 atau 10 malam.
    Dalam kegiatan penjualan lukisan, biasanya pelukis yang memiliki modal cukup besar memperkerjakan para pemuda-pemuda yang bisa melukis untuk membantu mereka, untuk memenuhi pesanan lukisan dari para konsumen. Biasanya seorang pelukis dibantu kira-kira oleh empat sampai lima orang. Dan biasanya para pekerja tersebut tidak hanya berasal dari wilayah Jelekong, tetapi juga dari luar Jelekong.
         Produksi dan hasil penjualan lukisan Jelekong mulai mengalami peningkatan pada masa perekonomian Indonesia mulai berangsur-angsur pulih dari krisis moneter. Pada masa krisis moneter yang menimpa Indonesia, para pelukis Jelekong terkena imbasnya. Bahkan omset perbulan mereka mengalami penurunan drastis disebabkan sepinya pembeli dan pesanan baik dari dalam ataupun luar negeri. Tetapi ketika setelah moneter, keadaan mulai kembali pulih. Ini ditandai dengan mulai meningkatnya jumlah pesanan hingga mencapai ribuan lukisan yang berasal kebanyakan dari wilayah Asia seperti Malaysia, Singapur, Taiwan, bahkan Saudi Arabia. Dan untuk dalam negerinya yaitu biasanya dari wilayah Jawa, yaitu Garut, Cihampelas, Jakarta, Cipanas,  Bandung (Braga dan Cihampelas), Bali yang banyak memesan lukisan tersebut. Dengan banyaknya jumlah pesanan tersebut, maka jumlah hasil produksi yang dihasilkan oleh para pelukis Jelekong otomatis akan meningkatkan sehingga akan menambah pendapatan mereka.
    Karena tidak adanya data mengenai lukisan (pelukis ataupun produknya) dari kantor kelurahan, maka tidak dapat dipastikan berapa jumlah pasti para pelukis yang bermukim di wilayah Jelekong. Namun dengan wawancara yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa para pelukis Jelekong semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan semakin padatnya pemukiman di wilayah tersebut yang didiami baik pelukis asli dari Jelekong ataupun dari luar Jelekong. Pewarisan keterampilan melukis yang dilakukan secara turun temurun serta kegiatan melukis yang dijadikan sebagai mata pencaharian kebanyakan warga Jelekong, menjadikan lukisan tersebut makin berkembang dan mengalami peningkatan dalam hal kuantitasnya. Terlebih jika ada pesanan, maka produksi lukisan dapat mencapai 2 sampai 3 kali lipat dari hari biasanya. Dalam hal jumlah lukisan, peningkatan tersebut ditandai dengan makin ramainya para pembeli dan pemasaran yang makin lama makin meluas ke berbagai daerah baik dalam ataupun luar negeri.

Perkembangan Kualitas Lukisan
    Perkembangan kualitas lukisan Jelekong dari waktu kewaktu pada umumnya mengalami penurunan. Dahulu pada awalnya bahan dasar lukisan memiliki kualitas yang tahan lama tetapi karena harga dari bahan dasar lukisan misalnya kanvas  semakin mahal sehingga para pelukis tidak mampu membeli kanvas tersebut akhirnya para pelukis membuat inisiatif untuk membuat sendiri kanvasnya yaitu dari bahan kain biasa yang dipoles dengan tepung aci. Dilihat dari harga mungkin akan terjangkau oleh pelukis tetapi dampak dari kanvas buatan tersebut kualitasnya menurun, sehingga dalam beberapa waktu lukisan yang mayoritas harganya murah akan rusak dan cat minyaknya akan luntur dan mengalami perubahan warna.
Pasca krisis moneter, para pelukis Jelekong sudah mulai banyak  lagi menggunakan kanvas dan cat yang kualitasnya lumayan baik bahkan ada yang menggunakan cat impor dari Inggris, Cina, Belanda, dan Korea.
Lukisan Jelekong apabila dikategorikan atau diklasifikasikan berdasarkan kualitas lukisan, maka dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:
Kelas bawah, dimana lukisan tersebut menggunakan cat, kanvas dan alat-alat yang sederhana dan dengan motif lukisannya hanya pemandangan.
Menengah atas, menggunakan kanvas berkualitas, cat bermerk untuk lukisan dengan motif yang lebih bervariasi (tidak hanya pemandangan).     

PENGARUH LUKISAN JELEKONG TERHADAP MASYARAKAT

Pengaruhnya Terhadap Pelukis
Pada awal kemunculannya, kegiatan melukis di desa Jelekong itu bersifat kesenian, akan tetapi kemudian seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi, melukis menjadi suatu kerajinan. Hampir disetiap rumah tangga di desa Jelekong itu membuat lukisan. Hal ini dikarenakan masalah ekonomi, dengan semakin banyaknya kebutuhan yang ingin dipenuhi, dan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Akan tetapi tidak semua pelukis di desa Jelekong menganggap bahwa lukisan Jelekong itu hanya sebagai sebuah kerajinan, dalam hal ini maksudnya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena ada juga beberapa diantara pelukis disana, yang memang melukis itu untuk mengisi waktu senggang atau untuk memenuhi kepuasan batin. Sebab pelukis-pelukis tersebut mempunyai pekerjaan lain yang berpenghasilan tetap, selain dengan hanya sebagai pelukis.
Sebelum munculnya lukisan Jelekong, sebagian besar masyarakat desa Jelekong berprofesi sebagai buruh tani. Namun setelah kerajinan melukis di desa Jelekong semakin ramai, maka banyak dari masyarakat disana yang beralih profesi sebagai pelukis. Selain profesi-profesi tersebut, keberadaan lukisan Jelekong pun membawa dampak bermunculannya pabrik-pabrik di sekitar desa Jelekong, sehingga ada pula sebagian dari masyarakat Jelekong yang berprofesi sebagai buruh pabrik.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa hasil dari melukis itu bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Walaupun terkadang kalau sedang sepi atau sedikit pembeli, penghasilan yang didapat oleh seorang pelukis sangat sedikit terutama setelah adanya krisis moneter, jika diukur dengan UMR (Upah Minimum Regional) Kabupaten Bandung, pelukis Jelekong mempunyai penghasilan yang minim bahkan dibawah UMR. Keadaan penghasilan pelukis ini berbeda dengan keadaan penghasilan pelukis pada tahun 1970-an, dimana penghasilan satu hari setara dengan dua gram emas..
Kebalikan dari kehidupan seorang pelukis, kalau kehidupan seorang tengkulak lukisan jauh lebih baik karena memiliki penghasilan yang jauh lebih besar daripada pelukis. 
Jadi perlu diperjelas dan ditekankan lagi, bahwa munculnya lukisan Jelekong itu sangat mempengaruhi kehidupan seorang pelukis. Terlepas bahwa si pelukis memiliki atau tidak pekerjaan lain selain melukis, yang jelas keberadaan lukisan Jelekong sangat berpengaruh dan membantu dalam kehidupan seorang pelukis, terutama dari aspek ekonomi.
Peningkatan keadaan ekonomi para pelukis pun berpengaruh terhadap tingkat pendidikan masyarakat Jelekong dimana sekarang minimal mereka telah mengenyam SMP bahkan sudah banyak yang berpendidikan tinggi semisal universitas.
      
Pengaruhnya Terhadap Komunitas di Luar Pelukis
    Keberadaan kerajinan melukis di desa Jelekong juga membawa pengaruh terhadap komunitas lain diluar komunitas pelukis. Sebagaimana halnya dengan pengaruh yang didapatkan oleh para pelukis, pengaruh yang didapatkan oleh komunitas diluar pelukis pun juga sama, yaitu berhubungan dengan aspek ekonomi.
Munculnya lukisan Jelekong menimbulkan hubungan baru antara pelukis dengan komunitas diluar pelukis, yang  memiliki keterkaitan cukup erat. Alasannya adalah karena tanpa adanya komunitas pelukis, kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh komunitas lainnya diluar pelukis akan kurang maksimal, begitu pula sebaliknya.
Perlu dijelaskan bahwa yang berada dalam komunitas diluar pelukis adalah pedagang lukisan, penjual bahan-bahan atau alat-alat yang berkaitan dengan kegiatan melukis, tukang ojek, dan masih banyak yang lainnya. Sebagai contoh keterkaitan antara pelukis dengan komunitas diluar pelukis adalah hubungan timbal balik antara pelukis dengan penjual bahan-bahan yang berkaitan dengan lukisan. Tanpa adanya para pelukis mungkin penghasilan yang didapatkan oleh para penjual bahan-bahan tersebut tidak akan terlalu banyak. Contoh lainnya adalah tukang ojek. Dulu sebelum pusat lukisan berpindah dari Cileunyi ke Jelekong, penghasilan yang didapatkan oleh para tukang ojek mungkin tidak terlalu banyak. Akan tetapi dengan munculnya kerajinan melukis di desa Jelekong maka secara tidak langsung akan membawa dampak yang sangat positif  bagi para tukang ojek, yaitu semakin banyaknya pengguna jasa ojek seiring dengan semakin ramainya aktifitas atau kegiatan yang berkaitan dengan lukisan dan semakin ramainya konsumen yang akan membeli lukisan. Dan masih banyak lagi contoh lainnya yang memperlihatkan dampak yang ditimbulkan dari munculnya lukisan Jelekong.
Jadi sudah jelas bahwa keberadaan lukisan Jelekong membawa pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan masyarakat atau komunitas diluar pelukis. Dan sama halnya dengan pelukis, komunitas diluar pelukis pun merasakan pengaruh yang cukup besar dari munculnya lukisan Jelekong, terutama aspek ekonomi. Terlepas mengenai sepi atau ramai pembeli, tetap saja membawa dampak terhadap komunitas diluar pelukis.         
Pada saat itu, jalan diwilayah Jelekong  belum beraspal. Seiring dengan waktu, maka kemudian bermunculan mata pencaharian lain di wilayah ini seperti tukang ojek yang menggantikan delman dan munculnya angkutan umum pada awal periode 1990-an, ada juga yang menjadi buruh pabrik pada sekitar tahun 1995 hingga saat ini, ada juga yang menjadi Pegawai Negeri Sipil. Ditambah lagi dengan adanya tren lukisan yang melanda wilayah ini, sekitar tahun 1975-an, yang telah menciptakan lapangan kerja baru. Mereka yang menganggur, menjadikan kegiatan melukis ini sebagai profesi utamanya, walaupun pada awalnya kegiatan melukis ini hanya merupakan sikap latah saja terhadap adanya tren melukis yang terjadi saat itu. Namun, dengan berkembangnya pemahaman manusia mengenai sisi ekonomis lukisan, maka kemudian aktivitas ini dijadikan sebagai profesi tetap. Perkembangan pemahaman ini tumbuh tatkala adanya aktivitas pameran lukisan di wilayah kabupaten atau tingkat propinsi (berawal dari tahun 1980) yang menyebabkan lukisan mereka diminati dan diincar untuk dimiliki dengan sejumlah uang kompensasi.
Dengan berkembangnya aktivitas melukis menjadi sebuah profesi, maka tidak pelak lagi mengundang profesi baru di kalangan penduduk Jelekong. Ada yang kemudian menjadi penjual bahan-bahan lukisan, seperti cat, kanvas, pigura, dan sebagainya; bahkan ada pula yang menjadi bandar atau tengkulak.
Setelah kemunculan para pendatang pada tahun 1980 hingga 2000, menyebabkan profesi petani kian lama kian tergusur. Mereka—para pendatang—tentunya membutuhkan tempat tinggal untuk eksistensinya. Dengan demikian, lahan pertanian yang sedemikian luas tersebut, diubah menjadi sebuah pemukiman. Tidak cukup dengan itu, daerah perbukitan juga diubah fungsi menjadi tempat tinggal mereka. Kedatangan para migran itu, ternyata berdampak pula secara moral. Para kaum migran yang pada umumnya menginginkan kehidupan yang lebih baik di Jelekong, ternyata tidak semuanya mampu mengikuti gaya kehidupan masyarakat lama dalam mempertahankan hidupnya. Tidak semuanya bisa melukis, tidak semuanya bisa bertani (apalagi kini bertani bukanlah hal yang menyenangkan lagi), tidak semuanya mampu bekerja di pabrik atau sebagai pegawai negeri. Hal ini kemudian membuat mereka menciptakan lapangan kerja baru, baik yang bersifat legal dan yang bersifat ilegal. Usaha-usaha yang bersifat legal, misalnya meliputi pedagang benda-benda untuk percetakan, tukang ojeg, atau supir angkutan umum. Usaha-usaha yang bersifat ilegal, misalnya perjudian dan narkoba. Usaha-usaha ilegal ini kemudian menjadi musuh dalam selimut, di satu pihak dibenci dan ingin dibasmi oleh masyarakat, di sisi lain menyedot minat masyarakat Jelekong untuk berbondong-bondong terjerumus dalam kemaksiatan

Tidak ada komentar: